SEVILLA PUTRI
ANTROPOLOGI-UNIVERSITAS INDONESIA
Setiap individu memiliki konsepsi tersendiri
terhadap keyakinannya, hal ini dapat dilihat dari masa ke masa mengenai
perkembangan agama itu sendiri. Saat ini agama-agama besar telah diterima dan
diakui oleh sebagian besar masyarakat Bali, salah satunya ialah hindu yang
menjadi agama mayoritas di Bali.
Tulisan ini membahas keterkaitan antara konsep
ritual dengan simbol dan melihat ritual Ngaben sebagai kasusnya. Dimana dapat
kita lihat bahwa setiap dilaksanakannya ritual maka akan selalu ditemukan
simbol didalamnya. Dikarenakan ritual merupakan suatu bentuk ekspresi untuk
menjelaskan situasi sosial yang ada di masyarakat tertentu, dan untuk
menjelaskan hal tersebut dapat dilihat melalui simbol-simbol yang hadir di
dalamnya.
Dari argumen tersebut muncul beberapa pertanyaan di
benak penulis antara lain ialah bagaimana cara ritual menjelaskan situasi
sosial yang terjadi di masyarakat dan apakah di dalam ritual selalu ditemukan
simbol ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut penulis mencoba mengulas dua tokoh
Antropologi yang pemikirannya banyak menyumbangkan pengetahuan bagi
berkembangnya ilmu sosial yakni Victor Turner dan Clifford Geertz.
Tokoh
pertama yang memiliki nama lengkap Victor Witter Turner lahir pada tanggal 28
Mei 1920 di Glasgow, Skotlandia. Ia merupakan mahasiswa pasca sarjana
Antropologi di Universitas Manchester. Turner mendapatkan gelar PhD berkat
studi yang ia lakukan di Afrika Tengah mengenai ritual yang dilakukan oleh
masyarakat Ndembu. Selama perjalanan karirnya ia fokuskan untuk membahas
ritual, dan sebagai profesor di Universitas Chicago Turner mulai menerapkan
studi tentang ritual dan upacara peralihan ke agama agama dunia sebagai bentuk
untuk menjelaskan drama sosial atau situasi krisis yang sedang dihadapi oleh
masyarakat.
Pada
tulisan ini saya akan membahas konsep ritual yang dikemukakan oleh Victor
Turner. Pandangan Turner mengenai ritual berawal dari studi yang dilakukan pada
masyarakat Ndembu di Afrika Tengah, di dalam buku The Ritual Process ia
membahas beberapa ritual yang dilakukan oleh masyarakat secara mendetail. Ia
menganalisis ritual Ishoma dan Wubwang’u yang ia temukan di Ndembu. Ritual
Ishoma diadakan untuk memperbaiki suatu kekurangan, seperti ketidakmampuan
wanita untuk bereproduksi ataupun
ketidakmampuan wanita pada saat melahirkan dan membesarkan anak. Ritual ishoma
memang dikhususkan untuk kaum perempuan, sebagaimana kita ketahui bahwa
masyarakat Ndembu menganut sistem kekerabatan matrilineal. Sedangkan untuk
ritual Wubwang’u merupakan ritual untuk anak kembar dimana terdapat
ketidakjelasan dalam realita fisiologis terhadap anak kembar di suku Ndembu.
Disana anak kembar dianggap spesial karena dengan lahirnya anak kembar
memperlambangkan kesuburan. Namun di satu sisi kelahiran anak kembar dianggap
membawa sial, karena akan mengubah tatanan posisi dalam struktur sosial yang
berlaku di masyarakat.
Menurut
Turner ritual yang dilakukan oleh masyarakat merupakan representasi dari keyakinannya. Ritual-ritual tersebut dibuat
agar masyarakat melakukan dan mentaati suatu tatatan sosial tertentu. Hubungan
antara ritual dengan struktur sosial akan terus ada dengan terserapnya nilai
nilai yang dibawa pada ritual tersebut serta diharapkan nilai-nilai tersebut
bisa diaplikasikan dikegiatan sehari-hari.
Turner
membagi ritual kedalam dua bagian yakni ritual mengenai krisis hidup dan ritual
mengenai gangguan. Ritual krisis hidup ialah ritual yang dibuat setiap kali
terjadi perubahan siklus kehidupan manusia, yakni pada saat fase kelahiran,
perkawinan dan kematian. Diadakannya ritual tersebut tidak hanya berpusat pada
individu, namun juga pada relasi sosial diantara orang yang berhubungan,
kekerabatan, perkawinan dan kontrol sosial lainnya. Sedangkan untuk ritual yang
berhubungan dengan gangguan adalah ritual yang dilakukan untuk mengatasi
masalah-masalah yang sedang dialami masyarakat. Seperti ritual Ishoma yakni
permasalahan mengenai kesuburan seorang perempuan ataupun ritual untuk berburu
dan lain lain. Turner melihat bahwa ritual dan upacara berperan membuat
individu dapat menjadi serasi dengan masyarakatnya, serta membuatnya dapat
menerima peraturan-peraturan yang berlaku.
Sejalan
dengan ini Victor Turner dalam Morris (2003:298-299) menjelaskan fungsi ritual
yang menekankan pada aksi sosial atau fungsi sosial ritual melalui resolusi
konflik, ritual dibuat untuk menjadi sebuah pemulihan kondisi dalam masyarakat.
Ia menambahkan bahwa aksi sosial ini harus dipahami dengan baik dalam kaitannya
dengan makna untuk mereka yang melakukan ritual tersebut.
Tidak
lengkap rasanya jika kita membahas ritual tanpa melihat simbol-simbol yang ada,
apalagi fungsi ritual akan berjalan sebagaimana mestinya apabila simbol-simbol
tersebut hadir didalam suatu ritual.
Untuk
membahas konsep simbol saya mencoba melihat pandangan Clifford Geertz dalam
bukunya The Interpretation of Culture.
Antropolog ini lahir di San Fransisco, California pada tahun 1929. Ia
merupakan mahasiswa jurusan filsafat di Antioch College, Ohio. Geertz lalu
melanjutkan studinya di Universitas Harvard dan mulai mendalami ilmu
antropologi. Sebagai antropolog ia banyak melakukan penelitian, termasuk
penelitian di Indonesia tepatnya di Jawa dan Bali. Karyanya yang terkenal dan
banyak dibahas oleh ilmuan ilmuan lain antara lain The Religion of Java, The
Interpretation of Culture dan karya-karya lainnya.
Untuk
memulai membahas simbol, pertama-tama saya melihat definisi agama yang
dikemukakan oleh Geertz. Ada beberapa poin yang disebutkan, antara lain : (1)
a system of symbols which acts to (2) establish powerful,
pervasive, and long-lasting moods and motivations in men by (3) formulating
conceptions of a general order of existence and (4) clothing
these conceptions with such an aura of factuality that (5) the
moods and motivations seem uniquely realistic.
Dari definisi diatas, Geertz memasukan unsur simbol
dalam pendefinisian agama dan pada poin terakhir disebutkan bahwa suasana hati
dan motivasi tersebut secara unik terlihat nyata. Saya menganalisis pernyataan
Geertz bahwa bentuk nyata dan unik ini digambarkan melalui kegiatan agama atau
sebagai bentuk ritual. Menurutnya terdapat aturan-aturan didalam masyarakat,
seperti masyarakat menerima adanya kekuasaan yang lebih tinggi dan hal ini ia
gambarkan melalui ritual. Namun, Geertz tidak hanya melihat ritual tapi juga
memperhatikan simbol-simbol yang ada didalamnya.
Menurut Geertz simbol merupakan elemen yang
memiliki sifat tangible, atau merupakan rumusan dari suatu gagasan,
abstraksi dari pengalaman yang diimplementasikan pada bentuk yang jelas. Simbol
digunakan manusia sebagai model of atau
memahami realitas dan model for membangun realitas. Simbol juga memiliki beberapa fungsi antara
lain, sebagai representasi dari sesuatu hal, untuk mengekspresikan hal-hal yang
tidak dapat dijelaskan secara langsung, sebagai penanda sesuatu hal , dan
digunakan sebagai alat untuk sebuah konsepsi.
Berdasarkan
pemahaman dua konsep diatas dapat kita lihat bahwa kedua konsep tersebut
memiliki keterkaitan. Saya akan mencoba menghubungkannya dengan menggunakan
contoh kasus, yakni ritual Ngaben di Bali. Ngaben merupakan salah satu bentuk
ritual krisis hidup atau siklus hidup yakni ritual kematian, dilakukan dengan
maksud untuk mengembalikan semua unsur yang menjadikan alam semesta termasuk
manusia agar kembali ke asalnya. Ritual demikian sebagai tanda untuk
menghormati orang yang sudah meninggal. Semua agama-agama di dunia ini memiliki
ritual upacara untuk menghormati para leluhur yang sudah meninggal dunia, tak
terkecuali dalam agama Hindu yang merupakan agama mayoritas di Bali.
Umat
Hindu memiliki beberapa kepercayaan yang meliputi: Kepercayaan kepada Tuhan
(Brahma), dewa-dewa, tempat suci, hari suci, dan kepercayaan terhadap upacara
yajna. Ngaben termasuk ke dalam kepercayaan mengenai upacara Yajna. Bagi umat
Hindu upacara adalah kegiatan yang
penting. Upacara tidak dilakukan begitu saja, tetapi ada aturan-aturan
dalam melaksanakan upacara agama yang disebut dengan lontar Sundarigama yaitu
mengatur tatacara upacara suci dan patut dilakukan oleh masyarakat.
Bagi
kepercayaan masyarakat Hindu apabila seseorang atau makhluk hidup mengalami
kematian maka hanya tubuhnya yang mati, kaku, rapuh namun tubuh halus atau roh
nya tidak ikut mati dan keluar dari tubuh tersebut. Roh akan terus mencari
surga, dalam masa pencarian itu ia mengalami reinkarnasi atau kembali lagi
kedunia didalam tubuh yang baru. Fase kehidupan baru ini sesuai dengan amalan
yang telah dilakukan dikehidupan sebelumnya.
Mengapa
ritual ini begitu penting bagi orang Hindu di Bali, karena didalam proses
ritual ini terdapat lima azaz keimanan dalam kepercayaannya kepada tuhan. Yakni
azaz Brahma, Atma, Karma, Smsara, dan Moksa. Saya akan membahas kelima azaz ini
secara singkat. Pada azaz yang pertama yakni Brahma, merupakan roh yang paling
tinggi yang menjadi tujuan akhir kembalinya semua ciptaan tuhan. Yang kedua
adalah Atma, bagian kecil dari tuhan yang ada di dalam tubuh manusia (roh).
Yang ketiga adalah Karma, perbuatan yang menyebabkan suatu akibat dan manusia
sebagai pelaku perbuatan tersebut harus menanggung akibat dari perbuatannya.
Yang keempat ialah Smsara atau reinkarnasi dimana makhluk hidup akan memulai
hidup baru sesuai dengan karma yang ia terima, hal ini diyakini sebagai
penderitaan yang berulang-ulang. Dan azaz terakhir yakni Moksha atau tujuan
akhir, merupakan kebahagiaan abadi karena roh manusia telah kembali dan menjadi
satu dengan tuhan.
Dengan
keyakinan tersebut maka dilakukanlah sebuah ritual kematian atau Ngaben. Maksud
dari diadakannya upacara ini ialah untuk mengembalikan unsur badan atau raga
kepada sang pencipta dan untuk melepaskan roh dari belenggu keduniawian
sehingga dapat dengan mudah mencapai Moksha.
Kegiatan
ritual Ngaben ini tidak terlepas dari simbol-simbol yang hadir didalamnya.
Sejalan dengan Geertz dalam buku The Interpretation of Culture simbol digunakan
untuk menunjukan dan menandakan sesuatu. Simbol yang digunakan dalam ritual
Ngaben berfungsi sebagai alat komunikasi kepada Tuhan yang sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai pada saat upacara dilaksanakan. Fungsi penting dari simbolisme
keagamaan adalah kapasitas mengekspresikan struktur yang bersifat paradoks dari
situasi-situasi tertentu yang nampak sulit untuk diekspresikan dengan cara
lain.
Jadi
kesimpulannya adalah ritual sebagai bentuk dari pemahaman situasi sosial hanya
bisa dijelaskan melalui kehadiran simbol yang ada didalamnya. Ritual tersebut
akan terasa maknanya dengan adanya simbol simbol tersebut. Seperti hal nya yang
terjadi pada ritual ngaben, dimana masyarakat memiliki keyakinan bahwa roh
orang yang mati akan tetap hidup dan akan bereinkarnasi. Orang Bali menganggap
reinkarnasi merupakan suatu penderitaan yang berulang-ulang, untuk menghindari
hal tersebut terjadi pada keluarganya maka diadakanlah ritual Ngaben. Melalui
ritual ini diyakini roh akan lebih mudah untuk mencapai Moksha.
Dalam
definisi agama menurut Geertz, agama mampu membuat manusia patuh karena mereka
merepresentasikan konsepsi-konsepsi yang tertuang dalam simbol itu dengan
fakta-fakta yang meyakinkan melalui ritual keagamaan. Menurut Turner ritual yang
dilakukan oleh masyarakat merupakan representasi dari keyakinannya. Ritual-ritual tersebut dibuat
agar masyarakat melakukan dan mentaati suatu tatatan sosial tertentu. Hubungan
antara ritual dengan struktur sosial akan terus ada dengan terserapnya nilai
nilai yang dibawa pada ritual tersebut. Pada intinya fungsi ritual akan
berjalan sebagaimana mestinya apabila simbol-simbol tersebut hadir didalam
suatu ritual.
Geertz,
C.
1973 The interpretation of cultures: Selected
essays. New York: Basic Books.
1981 Religion as a Cultural System. dalam
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures.
Turner, V.
1977 The
Ritual Process: Structure and Anti-Sturcture. Ithaca: Cornell University
Press.
Winangun Wartaya, Y.W.
1990 Masyarakat Bebas Struktur (liminalitas dan
komunitas menurut Victor Turner). Yogyakarta: Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar