Sabtu, 27 Juni 2015

melihat hubungan konsep ritual dan simbol dalam upacara Ngaben

SEVILLA PUTRI
ANTROPOLOGI-UNIVERSITAS INDONESIA

Setiap individu memiliki konsepsi tersendiri terhadap keyakinannya, hal ini dapat dilihat dari masa ke masa mengenai perkembangan agama itu sendiri. Saat ini agama-agama besar telah diterima dan diakui oleh sebagian besar masyarakat Bali, salah satunya ialah hindu yang menjadi agama mayoritas di Bali.
Tulisan ini membahas keterkaitan antara konsep ritual dengan simbol dan melihat ritual Ngaben sebagai kasusnya. Dimana dapat kita lihat bahwa setiap dilaksanakannya ritual maka akan selalu ditemukan simbol didalamnya. Dikarenakan ritual merupakan suatu bentuk ekspresi untuk menjelaskan situasi sosial yang ada di masyarakat tertentu, dan untuk menjelaskan hal tersebut dapat dilihat melalui simbol-simbol yang hadir di dalamnya.
Dari argumen tersebut muncul beberapa pertanyaan di benak penulis antara lain ialah bagaimana cara ritual menjelaskan situasi sosial yang terjadi di masyarakat dan apakah di dalam ritual selalu ditemukan simbol ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut penulis mencoba mengulas dua tokoh Antropologi yang pemikirannya banyak menyumbangkan pengetahuan bagi berkembangnya ilmu sosial yakni Victor Turner dan Clifford Geertz.
Tokoh pertama yang memiliki nama lengkap Victor Witter Turner lahir pada tanggal 28 Mei 1920 di Glasgow, Skotlandia. Ia merupakan mahasiswa pasca sarjana Antropologi di Universitas Manchester. Turner mendapatkan gelar PhD berkat studi yang ia lakukan di Afrika Tengah mengenai ritual yang dilakukan oleh masyarakat Ndembu. Selama perjalanan karirnya ia fokuskan untuk membahas ritual, dan sebagai profesor di Universitas Chicago Turner mulai menerapkan studi tentang ritual dan upacara peralihan ke agama agama dunia sebagai bentuk untuk menjelaskan drama sosial atau situasi krisis yang sedang dihadapi oleh masyarakat.
Pada tulisan ini saya akan membahas konsep ritual yang dikemukakan oleh Victor Turner. Pandangan Turner mengenai ritual berawal dari studi yang dilakukan pada masyarakat Ndembu di Afrika Tengah, di dalam buku The Ritual Process ia membahas beberapa ritual yang dilakukan oleh masyarakat secara mendetail. Ia menganalisis ritual Ishoma dan Wubwang’u yang ia temukan di Ndembu. Ritual Ishoma diadakan untuk memperbaiki suatu kekurangan, seperti ketidakmampuan wanita untuk bereproduksi  ataupun ketidakmampuan wanita pada saat melahirkan dan membesarkan anak. Ritual ishoma memang dikhususkan untuk kaum perempuan, sebagaimana kita ketahui bahwa masyarakat Ndembu menganut sistem kekerabatan matrilineal. Sedangkan untuk ritual Wubwang’u merupakan ritual untuk anak kembar dimana terdapat ketidakjelasan dalam realita fisiologis terhadap anak kembar di suku Ndembu. Disana anak kembar dianggap spesial karena dengan lahirnya anak kembar memperlambangkan kesuburan. Namun di satu sisi kelahiran anak kembar dianggap membawa sial, karena akan mengubah tatanan posisi dalam struktur sosial yang berlaku di masyarakat.
Menurut Turner ritual yang dilakukan oleh masyarakat merupakan representasi dari  keyakinannya. Ritual-ritual tersebut dibuat agar masyarakat melakukan dan mentaati suatu tatatan sosial tertentu. Hubungan antara ritual dengan struktur sosial akan terus ada dengan terserapnya nilai nilai yang dibawa pada ritual tersebut serta diharapkan nilai-nilai tersebut bisa diaplikasikan dikegiatan sehari-hari.
Turner membagi ritual kedalam dua bagian yakni ritual mengenai krisis hidup dan ritual mengenai gangguan. Ritual krisis hidup ialah ritual yang dibuat setiap kali terjadi perubahan siklus kehidupan manusia, yakni pada saat fase kelahiran, perkawinan dan kematian. Diadakannya ritual tersebut tidak hanya berpusat pada individu, namun juga pada relasi sosial diantara orang yang berhubungan, kekerabatan, perkawinan dan kontrol sosial lainnya. Sedangkan untuk ritual yang berhubungan dengan gangguan adalah ritual yang dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah yang sedang dialami masyarakat. Seperti ritual Ishoma yakni permasalahan mengenai kesuburan seorang perempuan ataupun ritual untuk berburu dan lain lain. Turner melihat bahwa ritual dan upacara berperan membuat individu dapat menjadi serasi dengan masyarakatnya, serta membuatnya dapat menerima peraturan-peraturan yang berlaku.
Sejalan dengan ini Victor Turner dalam Morris (2003:298-299) menjelaskan fungsi ritual yang menekankan pada aksi sosial atau fungsi sosial ritual melalui resolusi konflik, ritual dibuat untuk menjadi sebuah pemulihan kondisi dalam masyarakat. Ia menambahkan bahwa aksi sosial ini harus dipahami dengan baik dalam kaitannya dengan makna untuk mereka yang melakukan ritual tersebut.
Tidak lengkap rasanya jika kita membahas ritual tanpa melihat simbol-simbol yang ada, apalagi fungsi ritual akan berjalan sebagaimana mestinya apabila simbol-simbol tersebut hadir didalam suatu ritual.
Untuk membahas konsep simbol saya mencoba melihat pandangan Clifford Geertz dalam bukunya The Interpretation of Culture.  Antropolog ini lahir di San Fransisco, California pada tahun 1929. Ia merupakan mahasiswa jurusan filsafat di Antioch College, Ohio. Geertz lalu melanjutkan studinya di Universitas Harvard dan mulai mendalami ilmu antropologi. Sebagai antropolog ia banyak melakukan penelitian, termasuk penelitian di Indonesia tepatnya di Jawa dan Bali. Karyanya yang terkenal dan banyak dibahas oleh ilmuan ilmuan lain antara lain The Religion of Java, The Interpretation of Culture dan karya-karya lainnya.
Untuk memulai membahas simbol, pertama-tama saya melihat definisi agama yang dikemukakan oleh Geertz. Ada beberapa poin yang disebutkan, antara lain : (1) a system of symbols which acts to (2) establish powerful, pervasive, and long-lasting moods and motivations in men by (3) formulating conceptions of a general order of existence and (4) clothing these conceptions with such an aura of factuality that (5) the moods and motivations seem uniquely realistic.
Dari definisi diatas, Geertz memasukan unsur simbol dalam pendefinisian agama dan pada poin terakhir disebutkan bahwa suasana hati dan motivasi tersebut secara unik terlihat nyata. Saya menganalisis pernyataan Geertz bahwa bentuk nyata dan unik ini digambarkan melalui kegiatan agama atau sebagai bentuk ritual. Menurutnya terdapat aturan-aturan didalam masyarakat, seperti masyarakat menerima adanya kekuasaan yang lebih tinggi dan hal ini ia gambarkan melalui ritual. Namun, Geertz tidak hanya melihat ritual tapi juga memperhatikan simbol-simbol yang ada didalamnya.
Menurut Geertz simbol merupakan elemen yang memiliki sifat tangible, atau merupakan rumusan dari suatu gagasan, abstraksi dari pengalaman yang diimplementasikan pada bentuk yang jelas. Simbol digunakan manusia sebagai model of  atau memahami realitas dan model for membangun realitas.  Simbol juga memiliki beberapa fungsi antara lain, sebagai representasi dari sesuatu hal, untuk mengekspresikan hal-hal yang tidak dapat dijelaskan secara langsung, sebagai penanda sesuatu hal , dan digunakan sebagai alat untuk sebuah konsepsi.
Berdasarkan pemahaman dua konsep diatas dapat kita lihat bahwa kedua konsep tersebut memiliki keterkaitan. Saya akan mencoba menghubungkannya dengan menggunakan contoh kasus, yakni ritual Ngaben di Bali. Ngaben merupakan salah satu bentuk ritual krisis hidup atau siklus hidup yakni ritual kematian, dilakukan dengan maksud untuk mengembalikan semua unsur yang menjadikan alam semesta termasuk manusia agar kembali ke asalnya. Ritual demikian sebagai tanda untuk menghormati orang yang sudah meninggal. Semua agama-agama di dunia ini memiliki ritual upacara untuk menghormati para leluhur yang sudah meninggal dunia, tak terkecuali dalam agama Hindu yang merupakan agama mayoritas di Bali.
Umat Hindu memiliki beberapa kepercayaan yang meliputi: Kepercayaan kepada Tuhan (Brahma), dewa-dewa, tempat suci, hari suci, dan kepercayaan terhadap upacara yajna. Ngaben termasuk ke dalam kepercayaan mengenai upacara Yajna. Bagi umat Hindu upacara adalah kegiatan yang  penting. Upacara tidak dilakukan begitu saja, tetapi ada aturan-aturan dalam melaksanakan upacara agama yang disebut dengan lontar Sundarigama yaitu mengatur tatacara upacara suci dan patut dilakukan oleh masyarakat.
Bagi kepercayaan masyarakat Hindu apabila seseorang atau makhluk hidup mengalami kematian maka hanya tubuhnya yang mati, kaku, rapuh namun tubuh halus atau roh nya tidak ikut mati dan keluar dari tubuh tersebut. Roh akan terus mencari surga, dalam masa pencarian itu ia mengalami reinkarnasi atau kembali lagi kedunia didalam tubuh yang baru. Fase kehidupan baru ini sesuai dengan amalan yang telah dilakukan dikehidupan sebelumnya.
Mengapa ritual ini begitu penting bagi orang Hindu di Bali, karena didalam proses ritual ini terdapat lima azaz keimanan dalam kepercayaannya kepada tuhan. Yakni azaz Brahma, Atma, Karma, Smsara, dan Moksa. Saya akan membahas kelima azaz ini secara singkat. Pada azaz yang pertama yakni Brahma, merupakan roh yang paling tinggi yang menjadi tujuan akhir kembalinya semua ciptaan tuhan. Yang kedua adalah Atma, bagian kecil dari tuhan yang ada di dalam tubuh manusia (roh). Yang ketiga adalah Karma, perbuatan yang menyebabkan suatu akibat dan manusia sebagai pelaku perbuatan tersebut harus menanggung akibat dari perbuatannya. Yang keempat ialah Smsara atau reinkarnasi dimana makhluk hidup akan memulai hidup baru sesuai dengan karma yang ia terima, hal ini diyakini sebagai penderitaan yang berulang-ulang. Dan azaz terakhir yakni Moksha atau tujuan akhir, merupakan kebahagiaan abadi karena roh manusia telah kembali dan menjadi satu dengan tuhan.
Dengan keyakinan tersebut maka dilakukanlah sebuah ritual kematian atau Ngaben. Maksud dari diadakannya upacara ini ialah untuk mengembalikan unsur badan atau raga kepada sang pencipta dan untuk melepaskan roh dari belenggu keduniawian sehingga dapat dengan mudah mencapai Moksha.
Kegiatan ritual Ngaben ini tidak terlepas dari simbol-simbol yang hadir didalamnya. Sejalan dengan Geertz dalam buku The Interpretation of Culture simbol digunakan untuk menunjukan dan menandakan sesuatu. Simbol yang digunakan dalam ritual Ngaben berfungsi sebagai alat komunikasi kepada Tuhan yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai pada saat upacara dilaksanakan. Fungsi penting dari simbolisme keagamaan adalah kapasitas mengekspresikan struktur yang bersifat paradoks dari situasi-situasi tertentu yang nampak sulit untuk diekspresikan dengan cara lain.
Jadi kesimpulannya adalah ritual sebagai bentuk dari pemahaman situasi sosial hanya bisa dijelaskan melalui kehadiran simbol yang ada didalamnya. Ritual tersebut akan terasa maknanya dengan adanya simbol simbol tersebut. Seperti hal nya yang terjadi pada ritual ngaben, dimana masyarakat memiliki keyakinan bahwa roh orang yang mati akan tetap hidup dan akan bereinkarnasi. Orang Bali menganggap reinkarnasi merupakan suatu penderitaan yang berulang-ulang, untuk menghindari hal tersebut terjadi pada keluarganya maka diadakanlah ritual Ngaben. Melalui ritual ini diyakini roh akan lebih mudah untuk mencapai Moksha.
Dalam definisi agama menurut Geertz, agama mampu membuat manusia patuh karena mereka merepresentasikan konsepsi-konsepsi yang tertuang dalam simbol itu dengan fakta-fakta yang meyakinkan melalui ritual keagamaan. Menurut Turner ritual yang dilakukan oleh masyarakat merupakan representasi dari  keyakinannya. Ritual-ritual tersebut dibuat agar masyarakat melakukan dan mentaati suatu tatatan sosial tertentu. Hubungan antara ritual dengan struktur sosial akan terus ada dengan terserapnya nilai nilai yang dibawa pada ritual tersebut. Pada intinya fungsi ritual akan berjalan sebagaimana mestinya apabila simbol-simbol tersebut hadir didalam suatu ritual.







Geertz, C.
1973    The interpretation of cultures: Selected essays. New York: Basic Books.
1981    Religion as a Cultural System. dalam Clifford Geertz, The Interpre­tation of Cultures.
Turner, V.
1977    The Ritual Process: Structure and Anti-Sturcture. Ithaca: Cornell University Press.
Winangun Wartaya, Y.W.
1990    Masyarakat Bebas Struktur (liminalitas dan komunitas menurut Victor Turner). Yogyakarta: Kanisius.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar